Jujur adalah Ironi


(saat celana sobek adalah dosa besar)

Saya tak menyesal berusaha menjadi baik, karena buruk mulai bosan dengan diri saya. Saya tak berhenti ngopi karena kopi enggan pergi meninggalkan saya seorang diri. Seperti halnya saya yang berusaha tetap jujur walaupun menjadi pembohong akan mempunyai banyak peluang.

Siapa yang bilang hidup tidak sulit, hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja yang berkata demikian.
Mari menggurui saya soal bersyukur. 
Agaknya Si Penulis amatir yang sok pintar ini memang otaknya perlu diperbaiki.

Menjadi orang jujur memang ironi.

Kau tak berteman.
Karena orang jujur yang menampakkan diri dengan pakaian yang serba urakan dengan celana jeans yang kau sobek dengan pisau dapur atas kehendakmu sendiri membuatmu dinilai tak bisa rapi.
Rapi adalah baik, celana sobek-sobek itu tidak. Anda rapi, rambut kelimis, dan berdasi adalah baik. Saya keriting, gondrong, bertato, dan hobi ngopi, adalah tidak.

Teman saya yang mirip dengan saya suka sekali menolong orang, namun karena pakaian saya dan teman saya seperti ini, saya dan teman saya tetap di anggap bukan orang baik. Artinya jujur kami menjadi kesalahan untuk mata mereka.

Mencuri itu dosa, sedikit atau banyak mencuri tetaplah mencuri dan itu dosa. Apalagi yang sudah jelas-jelas terbukti. Itu kata guru ngaji saya. Lantas karena berdasi dan rapi, tetap saja mereka dianggap baik. Kesaksian di telan mentah-mentah, jujur di nomor duakan dan lagi, menjadi ironi.

Jujur menampakkan diri itu memang ironi.
Wanita itu suka yang rapi. Sialnya kau terlanjur berpakaian demikian. Mereka pergi. Mari tertawa, kita ngopi lagi.

Soal tuntutan saat melamar pekerjaan. Bapak bos yang gila kehormatan akan merasa malu mempunyai karyawan sepertimu. Dengkul hitammu (yang loreng karena sinar matahari), yang terlihat membuat konsumen enggan datang, padahal belum pasti.

“Waduh anda jangan meragukan kapasitas orang-orang seperti kami.” Kau ucap dengan gaya kegagah-gagahan.

Yang rapi, mari sini, besoknya di terima. Padahal saya dan teman saya yakin sekali, soal kerja keras dan kerja cerdas bisa jadi saya seimbang, kalau beruntung ya pengalaman kami di dunia kopi sedikit lebih baik lah.

"Selayaknya itu menjadi pertimbangan, walaupun jika anda menerima lamaran kami mungkin kami yang akan menolak panggilan anda."

Saya dan teman saya pernah dinilai tak punya otak. Saya sedang membicarakan permasalahan akademik. Karena yang ke kampus dengan pakaian rapi sudah tentu pintar, dan yang urakan tidak pantas di sebut mahasiswa.

Aduhai sekali kehidupan ini,
Naif sekali,
Saya masih heran apakah benar jujur adalah ironi.

Tapi, hati kecil saya tak sanggup berbohong, saya hanya mempunyai satu wajah. Kalau pakaian saya yang seperti ini banyak, anda jangan pakai. Orang-orang pilihan saja yang akan kuat.
Apapun yang terjadi, jujur tetaplah sebuah kejujuran. Seperti kebohongan yang tetapalah kebohongan. Tersudut karena kau jujur dengan pakaian seperti ini menurut saya dan kawan saya jauh lebih baik ketimbang berpakaian rapi namun berbohong dan merugikan banyak orang, apalagi sampai rela berubah wajah agar di puji-puji. Lagipula apa artinya pujian jika masih dari manusia. Tak ada yang bisa kita dapat dari pujian.

Biarlah kami menjadi polusi untuk satu dua orang karena penampilan. Dan biarlah menjadi dosa untuk anda atas apa yang kami pakai.

Saya masih ingat persis kata guru ngaji saya. “Jujur baik di mata Tuhan, bohong baik di mata orang-orang picik.”
Silahkan pilih yang mana.


Comments

Popular posts from this blog

5 lagu Coldplay yang pas di dengar saat hujan

Yang Terbuang

Biarkan Kopi Menjadi Kopi III