Biarkan kopi menjadi kopi I

Apa sih maunya?
Saya sedang tak mengeluh dengan apa yang menimpa saya sejak beberapa hari lalu atau bahkan beberapa bulan belakangan. Saya mahasiswa semester delapan yang sedang berjuang keras ngelarin skripsi. Banyak orang mungkin pernah ngalamin nih yang namanya kesulitan.

Kurang mengerti prosedur (ya maklum lah, namanya pemula).


Hari itu saya baru selesai bimbingan, dosen saya bilang latar belakang saya kurang kuat, karenanya saya harus ke dinas terkait untuk pengambilan data dalam rangka perkuatan latar belakang. Jujur saja saya mengawalinya dengan data bohongan karena saya pikir itu akan memudahkan saya. Sialnya, niat buruk saya tak terealisasi. Ya sudah, mungkin saya sedang tak diizinkan untuk berbohong.
Pembuatan surat dari kampus dimudahkan sehingga sehari jadi. Berbekal kopi saya kemudian pulang ke kampung untuk pergi ke dinas terkait. Empat jam perjalan sebelum akhirnya saya sampai. Dinas yang pertama (sebut saja dinas A),  saya pergi ke bagian tata usaha, disana dengan rendah hati saya mengungkapkan maksud dan tujuan kenapa saya datang. Tentu saja saya tak menawarkan produk kopi hitam saya.
Mereka mempertanyakan surat izin pengambilan data, saat itulah dengan bangga saya mengeluarkannya dari dalam tas. Saya berikan dan mereka membacanya, " Lha Kok?" kata salah satu dari dua orang yang berada di dalam ruang tersebut. 
"Ada yang salah?" hati saya berbisik.
" Dek, sebelum anda melakukan proses pengambilang data disini, harusnya anda berikan dulu surat ini pada Dinas B, nah nanti yang di bawa kesini itu surat pengantar dari sana."
sejenak saya termenung, "Ohhhhhh"
Demi menghindari perdebatan yang hanya akan membuang waktu saya, akhirnya saya memutuskan untuk ke Dinas B. Saya menghargai sebuah prosedur demi kelancaran penelitian. Saya pun dengan ikhlas angkat kaki dari dinas A. Anggaplah ini menjadi suatu kebodohan akan kepolosan saya.
Sampai di Dinas B, Saya bertemu dengan orang yang berbeda di ruang dengan nama yang sama seperti dinas A. Tata usaha.
Sama persis seperti kejadian di Dinas A. Saya hampir berfikir sedang mengalami de javu. Oleh karenanya saya butuh kopi untuk membuat otak saya sadar kembali. 
Di ruang tata usaha Dinas A, seseorang mengahmpiri saya, mereka menanyakan maksud dan tujuan saya. Saya terangkan dengan jelas. Lalu menunjukkan surat dari kampus yang hampir usang. Membacanya dengan serius sebelum mengangguk tanpa irama. 
"Jadi penelitian anda tentang ini?" katanya.
"Iya pak,"
"Waduh, tapi maaf anda harus ke dinas C terlebih dahulu untuk membuat surat pengantar, baru dari sini nanti kami bisa buatkan surat untuk dinas A."
"Ohhhh, gitu ya pak."
"Iya, gitu."
"Baiklah pak."

Untuk kedua kalinya saya harus angkat kaki. Seperti yang beliau katakan saya pun berjalan menuju Dinas C. Walah-walahhhh, hati saya berkata, "Nanti bagaimana jika sampai di dinas C saya harus ke dinas D terlebih dahulu, lalu bagaimana jika dinas D bilang ke E dulu, bagaimana jika sampai Dinas Y dan Z, ini akan sangat lama. Saya tak akan membiarkan kopi saya habis terlebih dahulu."

Saya sedang dalam keheranan, jika prosedurnya demikian lantas kenapa bapak dan ibu yang di dinas A tadi tak menjelaskan dengan detail dinas mana yang harus saya kunjungi terlebih dahulu. Ini sulit di mengerti, anggap saja ini rahasia. Jadi bukanlah suatu kewajiban bagi Dinas A untuk menjelaskannya. 

Ok, saya ke Dinas C.  

Saya menunggu cukup lama disana karena beberapa pegawai sedang asik minum kopi di sekitaran kantin. Ingin rasanya bergabung, mungkin mengajak mereka bermain kartu remi atau catur. Sayangnya tidak saya lakukan.

Bapak-bapak datang dari belakang dan menanyakan identitas juga tujuan saya. Tak enak ngobrol sambil berdiri, Bapak tersebut mempersilahkan saya masuk. Disinilah jalan yang saya pikir buntu beliau bangun. 
"Saya buatkan surat pengantarnya, dan tunggu lima menit dari sekarang akan selesai."
"Bapak ini luar biasa."
Saya menatap jarum berwarna merah yang berputar di atas dua jarum hitam yang lain. Sampai lima putaran.
"Yap, tepat waktu." Kata bapak tersebut dan memang benar tepat waktu. Tidak ada dinas D, E, F, G, H, dan seterusnya.
"Terimakasih pak." Saya ucapkan, prosedurnya jauh lebih mudah ketimbang dinas-dinas yang sebelumnya.

Pengantar dari Dinas C saya bawa ke Dinas B, bertemu lagi dengan orang yang sama, " Nah, ini baru," beliau bilang.
"Tunggu sebentar ya nak?" Lanjutnya. Saya pikir saya bukan anaknya, saya hanya orang yang datang untuk meminta tolong dibuatkan surat. Tapi tak apa karena saya memanggilnya juga dengan "Pak" walaupun saya tahu itu bukan bapak saya.

Jauh lebih lama, mungkin satu atau dua jam, eh bukan maksud saya menit. Saya di tawari untuk membuat berapa banyak pengantar yang saya butuhkan. "4 atau 5." sehingga saya dibuatkan. Karena kebaikan beliau saya menawarinya kopi. Sayang sekali, beliau tidak tertarik dengan itu. Padahal jujur saja tak ada sianida di dalamnya.

Ke dinas A selanjutnya. Saya bertemu ibu-ibu tadi, dan jauh lebih ramah ketimbang mas-mas gemulai yang nyinyirnya minta ampun. Saya tak berharap akan menyiramkan sisa kopi ini padanya.

"Baik, dek. Sekarang adek sudah tahu prosedurnya jadi saya akan memproses surat ini dengan cepat, kebetulan pak kepala ada sedang disini. Ini keberuntungan yang lain buat adek." Kata ibunya.
"Terimakasih buk." saya tersenyum.

Ibu yang baik hendak berdiri, lah ini, mas-mas nya nyaut (sebut saja Kak Sali), "Buk memangnya bisa surat di proses dalam sehari?" tanyanya.
"Tentu saja bisa." Jawab ibunya. Saya yakin ibu itu tahu bagaimana sulitnya menjadi mahasiswa.
"Kok dulu saya tidak bisa ya bu?" matanya melirikku membuatku geli.
"Dia mungkin pegawai baru." hati saya berprasangka baik.

Percakapan mereka terus berlanjut hingga hari berganti. Saya yakin ibu tersebut merasakan kebosanan seperti yang saya rasakan, sehingga beliau beranjak tak peduli pada Kak Sali yang terlihat lebih mendendam tanpa tahu salah saya ketimbang hendak membuat apa yang saya kerjakan menjadi mudah.
 
Alhasil, ibu tersebut memohon maaf karena bapak kepala dinas sudah pulang. Saya harus menemuinya esok. Tak masalah karena toh saya tak menyimpan rasa benci padanya. Ingin saya hadiahkan kopi termanis untuk beliau.

Kak Sali datang menghampiri kami yang sedang bercakap, dan entah apa motivasinya. "Kan buk, tak jadi jika prosesnya hanya sehari. Memang prosedurnya demikian." Katanya.

"Iya." Ibu tersebut tersenyum.

"Sudah nak, pulang dulu saja, besok kemari dan saya janjikan data sudah dapat di ambil."
"Baik buk, terimakasih." Ucapku.
Sementara Kak Sali memancarkan ketidak sukaannya terhadapku. Sayangnya, saya tidak cukup tenaga untuk meladeni atau paling tidak peduli.

Hari itu, akhirnya saya memutuskan untuk pulang dengan hati yang sedikit lega akibat kebaikan ibu itu.
Saya belajar bahwa, ketidak tahuan akan prosedur menjadi penting agar kita mau berusaha belajar dan menghargai proses. 
Semuanya tidak berjalan mudah, terseok-seok, tersandung itu biasa. Dan jika sandungan itu seperti Kak Sali, mungkin anda boleh mencoba untuk menendangnya, atau dengan cara yang lebih baik, mengajarinya membuat kopi. Agar dia tahu, tak ada gunanya mendendam, barangkali dulu dia dipersulit bukan berarti dia harus mempersulit orang lain.

"Barangkali ada susu yang terlanjur terkontaminasi kopi sehingga mengubah rasa, tak perlu balas mencampuri kopi dengan susu, tidak semua kopi bahagia diperlakukan demikian."


BERSAMBUNG...........

Comments

Popular posts from this blog

5 lagu Coldplay yang pas di dengar saat hujan

Yang Terbuang

Biarkan Kopi Menjadi Kopi III